LANDASAN AJARAN AHIMSA
DALAM KITAB BHAGAWADGITA
DAN SARASAMUSCAYA
DISUSUN
OLEH :
NAMA : WINDARIYANTI
NIM : 141 111 15
KELAS : DHARMA ACARYA II A
DOSEN PENGAMPU: NI MADE ARINI, S.Ag., M.Pd.
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA
HINDU NEGERI
GDE PUDJA MATARAM
2015
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Angayu bagia patut kita panjatkan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya
lah, sehingga makalah yang berjudul “Landasan Cinta Kasih Tanpa Kekerasan
(Ahimsa) dalam kitab Sarasamuscaya” ini bisa terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya. Makalah ini membahas mengenai ajaran Ahimsa yang terdapat
di dalam salah satu pustaka suci agama Hindu yaitu Sarasamuscaya yang disertai
dengan kutipan sloka-slokanya.
Semoga makalah ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca serta menumbuhkan rasa sadar dari pembaca maupun
penulis tentang perlunya cinta kasih kepada sesama dan semua makhluk tanpa
adanya kekerasan (Ahimsa) yang telah tercantum dalam kitab Sarasamuscaya. Tidak
lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen Tata Susila, Ibu Ni Made Arini,
S.Ag., M.Pd., karena telah memberikan tugas ini kepada kami sehingga kami dapat
menambah wawasan dan pengetahuan dengan menyusun makalah ini. Ucapan terima
kasih juga untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, tak
ada manusia yang sempurna. Mohon maaf apabila ada kekeliruan kata dan penulisan
yang terdapat dalam tulisan ini. Suksma.
Om Santhi, Santhi,
Santhi Om
Mataram,
10 Juni 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Seiring
dengan bergantinya zaman dan sampailah pada zaman kaliyuga ini yang merupakan
zaman terakhir dari keempat zaman lainnya. Kaliyuga adalah zaman dimana umur
dunia sudah hampir mencapai 1 hari Brahman (1 kalpa) dan akan berlanjut pada
masa Pralaya (Malam Hari Brahman). Pada zaman ini, kebenaran dan kebajikan
sudah mulai memudar dan orang-orang mulai melakukan hal-hal yang menyimpang
dari ajaran agama. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya pemahaman dalam
ajaran agama atau bahkan sudah memahami tetapi tidak melaksanakannya.
Seperti
yang terlihat di masa sekarang ini,
orang-orang bersaing dan berlomba untuk memperoleh kepuasan duniawi baik itu
kekayaan, kekuasaan, ketenaran ataupun ikatan maya lainnya. Rasa
individualisasi muncul dan rasa saling memiliki serta cinta kasih terhadap
sesama mulai memudar. Terjadi kriminalisasi dimana-mana, seperti pembunuhan,
perampokan, pemerkosaan, perzinahan dan masih banyak lagi. Perbuatan-perbuatan
tersebut jelas telah menyimpang dari ajaran susila yang tercantum dalam pustaka
suci. Salah satu ajaran yang melarang adanya perbuatan sejenis kekerasan
seperti itu adalah ajaran Ahimsa yang dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi. Ajaran
Ahimsa terdapat diberbagai pustaka suci Hindu, seperti Sarasamuscaya,
Bhagavadgita, Whraspati Tattwa, dan pustaka lainnya.
Oleh
karena hal tersebut diatas, maka melalui makalah ini penulis ingin menguraikan
mengenai salah satu bagian dari Panca Yama Brata yang merupakan pokok ajaran
Subhakarma yaitu ajaran Ahimsa yang tercantum dalam pustaka suci Hindu
khususnya kitab Sarasamuscaya dan Bhagawadgita yang merupakan pustaka suci yang
paling dikenal oleh umat pada umumnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
landasan ajaran Ahimsa yang tercantum dalam kitab Bhagawadgita ?
2. Bagaimana
landasan ajaran Ahimsa yang terdapat dalam kitab Sarasamuscaya ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui dan memahami landasan ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagawadgita.
2. Untuk
mengetahui dan memahami landasan ajaran Ahimsa dalam kitab Sarasamuscaya.
1.4 Manfaat
1. Menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca dan penulis tentang landasan ajaran Ahimsa yang
terdapat dalam pustaka suci Hindu.
2. Menambah
kajian dan sumber pengetahuan yang dapat digunakan dalam proses belajar
mengajar agama Hindu
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ajaran Etika dalam Agama Hindu
Agama
Hindu adalah salah satu agama yang mempunyai ajaran etika yang luas dan
mempunyai kajian yang bersumber dari pustaka-pustaka suci Hindu. Etika dalam
ajaran agama Hindu disebut dengan istilah Tata Susila yang merupakan salah satu
bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Tri Kerangka Dasar Agama Hindu
adalah salah satu pilar agama Hindu yang terdiri dari Tattwa, Susila dan
Upacara. Tattwa atau filsafat adalah inti dari pengetahuan (Panca Sraddha),
Susila atau etika adalah pelaksanaan sesuai dengan kehidupan sehari-hari (Tri
Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, Catur Purusa Artha, Sad Ripu dll.), serta
Upacara atau ritual, yaitu Yadnya atau korban suci yang tulus dan ikhlas.
Kata etika berasal dari bahasa
Yunani “Ethos” yang mempunyai banyak arti seperti watak, perasaan, sikap,
perilaku, karakter, tatakrama, tatasusila, sopan santun, ca berpikir dan
lain-lainnya. Sementara itu bentuk jamak dari kata “ethos” adalah “ta etha”
yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan moralitas dengan kata asal moral yang
memiliki pengertian sama dengan etika berasal dari bahasa latin “mos” (jamaknya
“mores”) yang berarti kebiasaan atau adat.
Dengan latar belakang pengertian yang sama seperti itu, maka sudah sejak
zaman dahulu istilah etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika lalu
diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral (W.J.S.
Purwandarminta, 1966). Pengertian etika lebih jauh diuraikan juga dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi tahun 1988 (Bertens, 2004). Kamus termaksud
membedakan tiga makna mengenai etika itu:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
b. Kumpulan asas atau nialai yang
berkenaan dengan akhlak.
c.
Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat
Dalam
pengertian umum, Etika adalah pengetahuan tentang kesusilaan yang berbentuk
kaidah-kaidah yang isinya tentang larangan-larangan dan suruhan-suruhan untuk
berbuat atau bertingkah laku yang baik ataupun buruk. Etika merupakan ilmu yang
normative, yang berarti bahwa etika berisi nilai-nilai dan norma-norma yang
dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tata Susila merupakan peraturan
tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia.
Tujuan etika yaitu untuk membina keselarasan
antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara
bangsa dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan lingkungannya. Sama
halnya dengan tujuan tata susila atau etika dalam agama Hindu yaitu untuk
membina hubungan yang selaras antara manusia dengan Tuhannya (Prahyangan),
manusia dengan manusia lainnya (Pawongan) dan antara manusia dengan
lingkungannya atau alam sekitarnya (Palemahan). Jadi tujuan tata susila
mengambil konsep Tri Hita Karana, yaitu tiga hubungan yang harmonis yang
merupakan penyebab adanya kebahagiaan.
Tata
susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat
yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpribadi mulia,
serta membimbing mereka untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud
disini bukan hanya kebahagiaan yang diperoleh melalui hubungan harmonis dengan
sesamanya, akan tetapi juga untuk mencapai kebahagiaan atau kesejahteraan abadi
yaitu menyatunya atman dengan Brahman (Brahman Atman Aikyam).
Tata
susila Agama Hindu dibangun atas dasar kebenaran yang maha adil. Agama adalah
dasar dari tata susila yang kokoh dan kekal. Jika bertentangan dengan agama dan
kebenaran, amak akan timbul ketidakselarasan di dalam makhluk.
Seperti
yang tercantum dalam pengertian etika, yaitu kaidah yang berisi larangan dan
suruhan untuk berbuat baik atau buruk. Jadi untuk membedakan baik atau buruknya
suatu perbuatan, dilihat dari dua kecenderungan sifat manusia, yang terdiri
dari Daiwi Sampad (Sifat kedewataan) dan Asuri Sampad (sifat keraksasaan).
2.2 Pengertian Ahimsa
Kata
Ahimsa berasal dari dua kata yaitu “A” yang berarti tidak, dan “Himsa” yang
berarti membunuh. Terdapat salah satu sloka yang dalam Veda yang mengatakan
“Ahimsaya paro dharmah” yang artinya “Dharma atau kebajikan tertinggi adalah
Ahimsa”.
Ahimsa
berarti tidak melakukan kekerasan atau tidak melukai. Walaupun ahimsa secara
umum berarti kebajikan dari pendeta budha dan jainisme. Akarnya tumbuh dalam
tanah veda dan upanisad yang subur, yang merupakan kitab Hindu yang utama.
Ahimsa mengajarkan bahwa seseorang harus menganggap semua mahluk hidup adalah
perlambangan dari Tuhan dan sehingga seseorang itu tidak boleh melukai
pikiran,dengan kata-kata,atau perbuatan mahluk lainnya.
Doktrin
ahimsa yang lain termasuk unsur penting berikut ini :
a). Dari sudut pandang tanpa kekerasan,ahimsa berarti cinta universal untuk semua mahluk. Karena Tuhan yang maha esa berada dalam semua mahluk.cinta antara mahluk adalah cinta pada Tuhan.
a). Dari sudut pandang tanpa kekerasan,ahimsa berarti cinta universal untuk semua mahluk. Karena Tuhan yang maha esa berada dalam semua mahluk.cinta antara mahluk adalah cinta pada Tuhan.
b).
Sangatlah tidak mungkin untuk mempertahankan keberadaan dalam dunia fisik ini
tanpa melukai atau membunuh beberapa mahluk. Dalam semua situasi dan keadaan
harus dengan cermat diterapkan agar dapat mengarungi jalan ahimsa.
c).
Kemarahan dan benci tidak dapat berdampingan dengan ahimsa. Kemarahan yang
membabi buta mengarahkan seseorang itu untuk melakukan kekerasan. Seseorang
pengikut jalan ahimsa harus rendah hati dan menjalankan tugasnya dengan
semangat pengabdian. Seorang individu yang khawatir dengan nama dan
keterkenalan terikat dengan dunia material acapkali melakukan kekerasan untuk
melindungi keinginannya untuk melindungi keegoisan dirinya.
d).
Ketamakan dan keposesifan adalah dua penyebab dari ketidak adilan dan
penderitaan mahluk hidup. Seorang pengikut ahimsa tidak menguasai kekayaannya
dan untuk memuaskan kebutuhan mereka sendiri.
e).
Pengabdian adalah unsur yang sangat penting dalam ahimsa. Seseorang tidak harus
puas dengan kemakmurannya sendiri, tetapi ia juga harus prihatin pada penderitaan
bagi semua umat manusia.
f).
Pengikut dari ahimsa harus berlatih kedisiplinan (tapasya),tetapi kedisiplinan
yang terlalu ekstrim bertentangan dengan penderitaan semua mahluk.
g).
Ahimsa menyatakan persamaan hak dan kesempatan bagi semua tidak memandang
perbedaan kasta, warna kulit, keturunan, ras, jenis kelamin, dan agama.
h).
Ahimsa mengajarkan rasa sayang pada tanaman dan pohon. Kasih sayang pada
tanaman dan pepohonan diajarkan oleh resi Hindu, yang meminta agar orang-orang
mengikuti Vana Devata, makhluk svarga yang bersemayam dalam tumbuhan. Dengan
menerapkan ahimsa pada hidup tanaman, Hindu adalah agama pertama yang menyadari
pentingnya untuk melindungi lingkungan.
"Engkau
tidak boleh menggunakan tubuh yang diberikan Tuhan untuk membunuh makhluk
Tuhan, Apakah mereka manusia, binatang atau apapun."(yajur veda samhita
12.32)
2.3 Ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagawadgita
a. Pengertian Bhagawadgita
Bhagawadgita
adalah
kitab yang merupakan bagian dari Mahabharata yang
termasyur, yang berupa dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog
ini, Krishna yang merupakan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara
utama yang menguraikan tentang ajaran-ajaran filsafat Vedanta. Sedangkan Arjuna
adalah murid langsung dari Sri Krishna yang menjadi pendengar. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita
adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van
= memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan
sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak
terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna,
yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).
Syair
ini merupakan interpolasi atau sisipan yang
dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini
terjadi pada permulaan Bharatayudha, atau perang di Kurukshetra. Saat
itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra
di antara pasukan Korawa
dan Pandawa.
Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak
saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati
mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Kresna yang
berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.
b. Sloka-sloka yang Menyangkut Tentang Ajaran Ahimsa
Di dalam kitab Bhagawadgita terdapat ajaran Ahimsa yang diajarkan
kepada Arjuna ketika berada di medan perang Kurukshetra. Sri Krishna
menguraikan bahwa pembunuhan dalam peperangan bukanlah suatu perbuatan yang
berdosa karena membunuh musuh dalam perang adalah salah satu pembunuhan yang
dibenarkan. Seperti yang dijelaskan dalam sloka di bawah ini:
Vedavinasinam nityam ya enam ajam avyanam
Katham sa purusah partha kam ghatayati hanta kam
Bhagavadgita (Sloka 2.21)
Artinya: Wahai
Partha, bagaimana mungkin orang yang mengetahui bahwa sang roh musnahkan,
bersifat kekal, tidak dilahirkan dan tidak pernah berubah dapat membunuh
seseorang atau menyebabkan seseorang membunuh ?
Dari sloka diatas dapat dipahami
bahwa seseorang yang membunuh, tidaklah dapat memusnahkan roh atau atman
seseorang, yang terbunuh tersebut hanyalah badan kasar atau Sthula Sariranya
saja. Akan tetapi meskipun roh tidak dapat dimusnahkan, bukan berarti bahwa
seseorang diberikan kebebasan untuk menyakiti atau membunuh orang lain.
Kekerasan dibenarkan untuk dilakukan apabila kekerasan tersebut demi
memperoleh keadilan yang utama. Hanya orang-orang yang memiliki pengetahuanlah
yang dapat memahami bahwa kekerasan tidak hanya merupakan suatu perbuatan yang
tidak baik, tetapi kekerasan memiliki kegunaan tergantung pada bagaimana
seseorang menggunakannya. Contoh kecilnya seperti operasi pembedahan terhadap
seseorang yang menderita sakit yang tujuannya bukan untuk menyakiti penderita
tersebut, tetapi tidak lain adalah untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Kaitannya dengan kekerasan atau pembunuhan yang dilakukan oleh para
ksatriya dalam pertempuran, diuraikan dalam sloka sebagai berikut:
Yadrcchaya copapanam svarga-dvaram apavrtam
Sukhinah ksatriyah partha labhanteyuddham idrsam
Bhagavadgita
(Sloka 2.32)
Artinya: Wahai Partha, berbahagialah para
ksatriya yang mendapatkan kesempatan untuk bertempur seperti itu tanpa
mencarinya – kesempatan yang membuka pintu gerbang planet-planet surga mereka.
Dalam
percakapan Arjuna dan Sri Krishna di medan perang Kurukhsetra, Arjuna merasa
bimbang dan bingung pada saat akan menghadapi pertempuran antara pihak Pandawa
dan Kurawa dimana ia bertempur melawan sanak saudaranya. Krishna memberikan
pencerahan dan pemahaman kepada Arjuna bahwa bertempur adalah sudah merupakan
kewajiban seorang ksatriya. Apalagi pertempuran itu bukanlah keinginan dari
pihak Arjuna, jadi meskipun ia membunuh musuh di medan perang bukanlah
perbuatan yang berdosa dan apabila Arjuna terbunuh maka ia akan langsung mencapai
surga, begitupula pihak musuh yang terbunuh dalam pertempuran.
Dari
beberapa kutipan sloka Bhagavadgita diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kekerasan atau membunuh (Ahimsa) tidak hanya merupakan perbuatan yang berdosa
atau tidak dibenarkan, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan yang memiliki
kegunaan seperti untuk memperoleh keadilan dan dapat dilakukan oleh para
ksatriya pada saat pertempuran di medan perang.
2.4 Ajaran Ahimsa dalam Kitab Sarasamuscaya
a. Pengertian Sarasamuscaya
Sarasamuscaya
adalah salah satu susastra Hindu yang merupakan sumber ajaran etika. Meskipun secara
khusus disebutkan bahwa Sarasamuscaya berisi tentang sumber, uraian dan
penafsiran tentang Catur Warga yaitu: Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha dan
Moksa. Sarasamuscaya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Sarasamuscaya
merupakan pedoman tentang tingkah laku yang baik dalam kehidupan manusia, yaitu
religi dan etika. Kalau ajaran Bhagavadgita menyangkut filsafat maka
Sarasamuscaya berisikan tentang ajaran etika.
Dalam kitab Sarasamuscaya terdapat
ajaran tentang cara bertingkah laku untuk diri sendiri dan untuk hidup bersama
dengan orang lain. Berbagai suruhan, larangan mengenai tingkah laku disajikan
dalam pustaka Sarasamuscaya. Tentu saja semua ajaran tersebut berlandaskan pada
ajaran agama Hindu. Ajaran yang disampaikan dengan tujuan mencapai kelepasan
dari belenggu penderitaan, sesuai dengan tujuan agama Hindu.
Sebagai pustaka yang memberikan
penekanan pada etika, Sarasamuscaya dengan jelas menyebutkan bahwa manusia pada
dasarnya memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan juga buruk. Sifat-sifat
yang baik dinyatakan dengan istilah Subhakarma, dan difat yang buruk dinyatakan
dengan ungkapan Asubhakarma. Karena manusia adalah makhluk yang mulia, makhluk
berpikir, maka ia mampu melepaskan dirinya dari Asubhakarma dan masuk di alam
Subhakarma.
Subhakarma merupakan kecendurangan
sifat yang baik (Daiwi Sampad). Subhakarma terdiri dari beberapa pokok ajaran
seperti Tri Kaya Parisudha, Catur Paramitha, Panca Yama Brata, Sad Paramitha,
Panca Nyama, Catur Aiswarya,, Asta Siddhi, Nawa Sangga, Dasa Yama Brata, Dasa
Nyama Brata, Dasa Dharma, dan Dasa Paramitha. Diantaranya ajaran Panca Yama
Brata yang merupakan lima macam pengendalian diri dalam hubungan dengan
perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani. Salah satu pembagian dari Panca
Yama Brata yaitu Ahimsa yang berarti tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh
makhluk lain.
Kitab Sarasamuccaya terdiri dari sebuah pengantar pendek dan 517 sloka
yang diterangkan dalam bahasa Jawa Kuna. Kitab ini adalah kitab etika untuk
pemeluk agama Hindu di Indonesia.
“ The
Sarasamuccaya is the Gita of the Balinese Hindus,”
- Sarasamuccaya adalah Bhagavadgitanya
orang-orang Bali pemeluk agama Hindu.
Demikian ucapan Raghu Vira M.A.
PH.D. dalam bukunya Sarasamuccaya.
Memang benar adanya bahwa isi dari Sarasamuccaya adalah buku pedoman bertingkah
laku yang baik di dalam kehidupan ini.
b. Ketidakutamaan Orang yang Menimbulkan Penderitaan Terhadap Orang Lain
Jiiwitam yah swayam hiicchetakatham
so’nyaan praghaatayet,
Yadyadaatmani hiccheta tat parasyaapi
cintayet
Sarasamuscaya (Sloka 136)
Apan ikang wwang kahat ri huripnya,
apa nimittanikam panghilangaken praana ning ika taatan harimbawaa kta ya, ikang
sanukhana ryawaknya, ya ta angenangenenya, ring len.
Artinya: Apabila
orang sayang kepada nyawanya sendiri, mengapa ingin mencabut nyawa lain makhluk
? Hal ini tidak menghiraukan orang lain namanya. Apa saja yang rasanya
menyenangkan untuk dirinya sendiri, itulah yang harus diperbuat terhadap orang
lain.
Terdapat salah satu istilah sloka
dalam Hindu “Vasudaiva Kutumbakam”
yang artinya kita semua bersaudara atau semua jenis kehidupan sebagai satu
keluarga. Ini berarti bahwa BRAHMAN, Tuhan yang meresap pada semua mahluk, yang
menyatu pada semua mahluk hidup, apakah manusia,binatang,atau serangga. Semua
perbuatan, pemikiran kata-kata yang menyakiti mahluk hidup adalah sebuah dosa
bagi semua mahluk ciptaan, termasuk pendosa itu sendiri. Kitab Hindu (seperti
Rg Veda 10.37.11, Atharva Veda 19.48.5 dan 10.191.4, Devikalottara agama dan
Sandilya Upanisad) menyatakan bahwa tidak boleh melukai mahluk hidup.
Dauskulaa wyaadhibahulaa
duraacaaraah prahaarinah,
bhawantyalpaayusah paapaa roduka
kasmalodayaat.
Sarasamuscaya (Sloka 148)
Kuneng tikang
wwang mangke kramanya, mangjanma ring wwang kasmala, wyaadhi ta ya,
duraacaaraa, hingsaaprawrrti, alpaayusa, dumeh ya mangkana, kruurakarma nguuni
ring puurwajanmanya kalinganika.
Artinya: Adapun
orang yang keadaannya pada kehidupan ini menjadi manusia penuh dosa,
penyakitan, jahat, suka membunuh, pendek umur, maka semua itu menurut ajaran
agama adalah pahala yang didapatnya dari perbuatan-perbuatan jahat yang
dilakukan dalam penjelmaannya yang lampau.
Yasyaante
swaapi caranaukurute muurddhanya Sankitah,
Sa
kaayah parapiidanair dhaaryata iti ko nayah.
Sarasamuscaya (Sloka 137)
Lawan waneh, ikang sarira ngaranya, anitya
pinaka swabhaawanya, tan lanaa, apan ri paatinya, tan pamuulya ya, mastakanya
tuwi linangkahaning srgaala, an mangkana tattwanya, aparan ta rakwa ya, inguni
makasaadhanang parapiida, ndya ta yogyanika.
Artinya: Bahwa
sesungguhnya badan kasar ini tidak kekal keadaannya; kalau ia mati tidak
berharga lagi karena sesungguhnya kepalanyapun dapat dilangkahi anjing
demikianlah sebenarnya. Oleh sebab itu mengapa sampai mencelakakan orang lain
untuk memelihara badan kasar ini. Apakah sepatutnyakah demikian ?
Sthula sarira atau badan
kasar yang merupakan bagian Tri Sarira, memiliki sifat tidak kekal. Badan kasar
ini selalu berganti dan mengambil wujud lain di setiap kelahiran selama siklus
penjelmaan yang berulang-ulang (Punarbhawa/Samsara). Oleh karena itu, jika
untuk memelihara dan memberi kepuasan pada badan kasar tersebut dengan
melakukan cara atau jalan yang menimbulkan kesengsaraan atau menyiksa makhluk
lain, tidaklah benar karena tujuan kita lahir kembali adalah untuk memperbaiki
karma atau perbuatan kita dan agar pada kehidupan selanjutnya atma tidak lagi
mengambil wujud badan kasar tetapi dapat menyatu dengan Brahman.
c. Keutamaan dan Pahala Orang yang Tidak Melakukan Ahimsa Karma
Wadhabandhapariklesaan
praanino na karoti yah,
Sa
sarwasya hitam prepsuh sukhamatyantamasnute
Sarasamuscaya (Sloka 141)
Hana mara wwang mangke kramanya; tapwan
pagawe pariklesa ring praani, tan pangapusi tan pamati, kewala sanukhana ring
prani tapwa ginawenya, ya ika sinanggih paramasukha ngaranya.
Artinya: Jika ada orang yang tidak pernah
melakukan perbuatan yang mencelakakan makhluk lain, tidak menipu, tidak
membunuh, dan hanya hal-hal yang menyenangkan yang diperbuatnya selalu terhadap
semua makhluk, maka ialah yang mendapat kebahagiaan tertinggi.
Itulah
pahala yang didapatkan apabila seseorang tidak melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan kesengsaraan dan menyakiti orang lain. Orang tersebut dapat
mengantarkan atmanya untuk mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu terlepasnya
atman dari ikatan duniawi (Panca Maya Kosa) dan bersatunya atman dengan Brahman
(Moksa).
Ekam
suute mrgaarinii bahuun suute wrkisutaan,
Attaarah
pralayam yaanti naadyamaanaah kathancana
Sarasamuscaya (Sloka 140)
Nihan paajara sakareng naang kidang,
sakatunggal denika maanak, kunang ikang srgaala, maanak ika sakapitu nem,
kalinganika, ring nem pitu, tan ahurip ika kabeh, apan ikang amangan,
upalaksana ring makaarya ring hala, ya ika kagonganing wighna, kunang ikang
pinangan, sdalwirning kinaarya ring hala, taha ika.
Artinya: Kini
diumpamakan sebagai kidang yang menjadi makanan harimau, Kidang itu beranak
seekor, harimau beranak enam atau tujuh sekali, tetapi walaupun enam atau tujuh
tidak hidup, itu semuanya, sebab ia masuk golongan yang memakan makhluk hidup
lain. Harimau yang melakukan perbuatan membencanai makhluk lain, menerima
pahalanya yang celaka, sedang yang dimakan yaitu kidang yang dibencanai itu
tidak menerima nasib yang celaka.
Dari perumpaan hewan kidang dan
harimau diatas, dapat dimaknakan bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan baik
itu baik maupun buruk, pasti akan mendatangkan hasil sesuai dengan perbuatan
tersebut yang biasa disebut dengan istilah Karmaphala. Jika dalam hidupnya
seseorang selalu menimbulkan kesengsaraan dan menyakiti makhluk lain, maka
phala atau hasil perbuatannya itu akan mengikutinya. Sebaliknya, orang yang
selalu dikenai kesengsaraan oleh orang lain pasti suatu saat ia dapat terhindar
dari nasib celaka.
Yaccintayati
yadyaati ratin badhnaati yatra ca,
Tahtaa
caapnotyayatnena praanino na hinasti yah
Sarasamuscaya (Sloka 142)
Kuneng phalanya nihan, ikang wwang tan
pamaatimaatin haneng raat, senangenangenya, sapinaranya, sakahyunya, yatika
sulabha katemu denya, tanulihnya kasakitan.
Artinya: Pahalanya orang yang tidak
membunuh-bunuh (menyakiti) di dunia ini ialah bahwa segala yang diingini, semua
yang ditujunya, segala yang dipikirkannya, dengan mudah tanpa penderitaan pasti
tercapai olehnya.
Seseorang
yang tidak pernah melakukan perbuatan yang menyakiti dan menimbulkan
kesengsaraan orang lain, maka orang tersebut pada kehidupan sekarang ataupun
yang akan datang, kecil kemungkinan untuk ia disakiti oleh orang lain kecuali
jika ia masih mempunyai bekas-bekas karmawasana di kehidupan terdahulu. Selain
itu, pahala orang yang tidak suka menyakiti makhluk lain yaitu tujuan atau
keinginan yang ingin dicapainya akan lebih mudah diperolehnya seperti yang
disebutkan dalam sloka diatas.
2.5 Pembunuhan yang Dibenarkan
Memang benar bahwasanya membunuh
adalah salah satu bentuk dari tindakan kekerasan. Tetapi ada
pembunuhan-pembuhuhan yang diijinkan dan bahkan diwajibkan oleh ajaran Veda.
Membunuh untuk mempertahankan hidup bukanlah tindakan himsa karma. Bahkan
Bhagavad Gita yang disabdakan oleh Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna
adalah merupakan perintah kepada Arjuna untuk bangkit dan melakukan
kewajibannya membunuh lawan-lawannya di medan perang. Pembunuhan harus
dilakukan dalam rangka melakukan tugas dan kewajiban. Seorang Brahmana yang
berkualifikasi dapat pembunuhan binatang dalam rangka korban suci. Seorang
Ksatria seperti Arjuna yang tugas dan kewajibannya bela negara dan
menghancurkan musuh demi dharma maka harus siap melakukan pembunuhan walaupun
yang harus dia bunuh adalah sanak keluarga, guru dan saudara-saudaranya
sendiri. Begitu juga dengan seorang Hakim sebagaimana disampaikan dalam kitab
hukum Hindu, Manu Samhita tidak boleh disalahkan hanya karena dia menjatuhkan
hukuman dan mengeksekusi mati narapidana yang telah terbukti melakukan dosa
berat membunuh orang lain. Seseorang yang membela diri dari serangan perampok
demi mempertahankan jiwa raga dan harta bendanya pun tidak boleh disalahkan
karena membunuh si perampok. Begitu juga semua mahluk hidup yang melakukan
pembunuhan demi makan dan mempertahankan hidupnya tidak bisa serta merta kita
salahkan.
Dalam Bhagavata Purana 6.4.9
mengatakan: “annaḿ carāṇām acarā hy apadaḥ pāda-cāriṇām ahastā hasta-yuktānāḿ
dvi-padāḿ ca catuṣ-padaḥ” (secara alamiah, buah-buahan dan bunga diperuntukkan
sebagai makanan untuk serangga dan burung; rumput dan binatang yang tidak
berkaki adalah sebagai makanan binatang berkaki empat seperti sapi dan kerbau;
binatang yang tidak menggunakan kaki depannya sebagai tangan adalah makanan
bagi binatang seperti macan, yang memiliki cakar; dan binatang berkaki empat
seperti rusa dan kambing, maupun biji-bijian, adalah makanan bagi manusia) Ini
berarti secara alami manusia memang diijinkan melakukan pembunuhan binatang
untuk kebutuhan hidupnya.
Meskipun demikian, hendaknya kita
harus menyikapi “hak” membunuh ini dengan sangat hati-hati. Jangan beranggapan
bahwasanya kita bisa melakukan pembunuhan sembarangan dengan alasan bahwa sang
roh tidak pernah terbunuh meski badan materialnya terbunuh. Karena tidakan
membunuh seperti ini bertentangan dengan prinsip bahwasanya jika suatu mahluk
hidup dibunuh tanpa aturan kitab suci, itu berarti kita telah menghalangi
proses evolusi sang roh mahluk hidup bersangkutan. Karena itulah dikatakan pula
bahwa ahimsa dapat diartikan tidak menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup
mana pun yang maju dari salah satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan yang
lain.
2.6 Ajaran Ahimsa yang Terdapat pada Pustaka Hindu Lain dan Pandangan Para Tokoh Agama Dunia Mengenai Ahimsa
Ajaran
Ahimsa tidak hanya terdapat dalam kitab Bhagawadgita dan Sarasamuscaya saja,
akan tetapi terdapat pula pada beberapa pustaka suci Hindu lainnya, diantaranya
yaitu sebagai berikut:
"Engkau
tidak boleh menggunakan tubuh yang diberikan Tuhan untuk membunuh makhluk
Tuhan, Apakah mereka manusia, binatang atau apapun."(yajur veda samhita
12.32)
Dalam Yajur Weda, XXI.61, Tuhan
berkata, “Tuhan menciptakan manusia untuk berbicara lemah-lembut dan santun”.
Tuhan berjanji, “Orang-orang yang
ramah dan lemah-lembut dalam ucapannya akan memperoleh karunia-Nya” (Yajur
Weda, XIX.29).
Dalam Reg Weda, X.19.4, Dia berseru
kepada kita semua, “Wahai umat manusia, satukanlah pikiranmu untuk mencapai
satu tujuan dan satukanlah hatimu, satukan pikiranmu dengan sesama dan semuanya
tinggal dalam pergaulan yang harmoni”
Sloka suci di atas menegaskan bahwa
hakikat ber-Ahimsa adalah tidak
hanya menyangkut Vegetarianisme atau tidak membunuh tetapi lebih pada mengelola
Tri Kaya Parisuda atau Sukma agar manusia senantiasa lebih manusiawi agar mencapai “moksartham
jagaddhita ya ca iti dharma” (dengan dharma menggapai kesejahteraan di
dunia dan di akhirat). Etika-Ahimsā
seyogyanya dimulai dari pikiran (manacika), kemudian ke wicara (wacika),
dan akhirnya laku (kayika) atau Tri Kaya Parisuda.
Menurut Svami Vivekananda manusia terdiri atas manas
(pikiran), buddhi (laku), dan atman (ruh). Di samping itu, di
dalam diri manusia juga ada sifat Rajas dan Tamas yang juga mesti
diseimbangkan agar tercapai Satvass atau Satwika. Karena ahimsā
adalah pertimbangan etis non-kekerasan dan damai, maka pertama-tama ia dimulai
dari ketiga unsur pembentuk kedirian manusia ini. Bagaimanapun juga, makna ahimsā
akan kabur jika misalnya, perut sudah tidak terisi daging tetapi perkataan,
tingkah laku dan pikiran kita masih terpengaruh oleh sifat-sifat
ke-daging-an (hewani). Bahwa ahimsā seharusnya terimplementasi ke dalam Tri
Kaya Parisuda dan atau Sukma.
T.W. Rhys Davids berpendapat bahwa ahimsā
secara mistis terdapat di dalam kitab sruti
Chāndogya Upanisad (3,7). Sedangkan menurut John McKenzie, ahimsā lebih unik di tangan Gautama
dan Mahāvīra dan menjadi National Character, misalnya di tangan
Mahatma Gandhi. Memang ahimsā dalam
pandangan Gandhi, seperti kata Francis Alapatt, “lebih dari sekadar ungkapan…,
yang lebih menekankan aspek ‘tidak’ atau penegasian, dan tidak jarang pula ahimsā
dimaknai secara negatif”. Memang secara praktis, etika-ahimsā dilaksanakan dengan cara tidak memakan daging “vegetarianisme”.
Karena menurut Maharshi Manu, “there is no greater sinner than that man who,
though not worshipping the gods or manes, seeks to increase the bulk of his own
flesh by the flesh of other beings.” Akan tetapi, menurut beliau lagi, ada
pengecualian selama, “He who eats meat, when he honours the gods and manes,
commits no sin, whether he has bought it, or himself has killed the animal, or
has received it as a present from others”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ahimsa
adalah salah satu ajaran etika dalam Agama Hindu yang merupakan bagian dari
Panca Yama Brata. Ahimsa berarti tidak membunuh atau tidak menyakiti. Di dalam
kitab Bhagawadgita, Sarasamuscaya dan pustaka suci Hindu lainnya terdapat
larangan atau ketidakutamaan orang yang melakukan Himsa Karma terhadap makhluk
lain. Akan tetapi, terdapat pula beberapa macam pembunuhan yang dibenarkan,
seperti membunuh dalam perang seperti Arjuna, membunuh untuk memperoleh
keadilan seperti hakim, membunuh karena merupakan tugas atau kewajibannya
seperti brahmana yang melakukan yadnya, membunuh karena ingin membela diri,
serta membunuh untuk makan dan mempertahankan hidup. Konsep ajaran Ahimsa tidak
hanya mengenai perbuatan yang tidak membunuh atau menerapkan vegetarianisme
saja, akan tetapi Ahimsa harus terimplementasi dari konsep ajaran Tri Kaya
Parisudha.
3.2 Saran
Sebagai
umat Hindu yang meyakini adanya ajaran Ahimsa, seharusnya kita memahami dan
mencari kebenarannya ajaran dalam pustaka Suci yang kita miliki. Kemudian
mengimplementasikannya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing
tanpa adanya paksaan.
DAFTAR PUSTAKA
Mantra,
Prof. Dr. Ida Bagus. 2002. Tata Susila
Hindu Dharma. Jakarta: Felita Nursatama Lestari.
Sudharta,
Tjok. Rai. 2009. Sarasamuccaya Smerti
Nusantara. Surabaya: Paramita.
Prabhupada,
Swami. 2006. Bhagavadgita Menurut Aslinya.
Indonesia: Hanuman Sakti.
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia.
Suhardana, Drs. K.M. 2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu.
Surabaya: Paramita.