Senin, 09 Januari 2017






LANDASAN AJARAN AHIMSA
DALAM KITAB BHAGAWADGITA DAN SARASAMUSCAYA





DISUSUN OLEH :

NAMA          : WINDARIYANTI
NIM              : 141 111 15
KELAS         : DHARMA ACARYA II A

DOSEN PENGAMPU: NI MADE ARINI, S.Ag., M.Pd.




KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GDE PUDJA MATARAM
2015


KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
            Angayu bagia patut kita panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya lah, sehingga makalah yang berjudul “Landasan Cinta Kasih Tanpa Kekerasan (Ahimsa) dalam kitab Sarasamuscaya” ini bisa terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini membahas mengenai ajaran Ahimsa yang terdapat di dalam salah satu pustaka suci agama Hindu yaitu Sarasamuscaya yang disertai dengan kutipan sloka-slokanya.
            Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca serta menumbuhkan rasa sadar dari pembaca maupun penulis tentang perlunya cinta kasih kepada sesama dan semua makhluk tanpa adanya kekerasan (Ahimsa) yang telah tercantum dalam kitab Sarasamuscaya. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen Tata Susila, Ibu Ni Made Arini, S.Ag., M.Pd., karena telah memberikan tugas ini kepada kami sehingga kami dapat menambah wawasan dan pengetahuan dengan menyusun makalah ini. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Mohon maaf apabila ada kekeliruan kata dan penulisan yang terdapat dalam tulisan ini. Suksma.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om
                                                                                                            Mataram, 10 Juni 2015
                                                                                                                       
Penyusun

           








DAFTAR ISI





BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Seiring dengan bergantinya zaman dan sampailah pada zaman kaliyuga ini yang merupakan zaman terakhir dari keempat zaman lainnya. Kaliyuga adalah zaman dimana umur dunia sudah hampir mencapai 1 hari Brahman (1 kalpa) dan akan berlanjut pada masa Pralaya (Malam Hari Brahman). Pada zaman ini, kebenaran dan kebajikan sudah mulai memudar dan orang-orang mulai melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya pemahaman dalam ajaran agama atau bahkan sudah memahami tetapi tidak melaksanakannya.
Seperti yang terlihat di masa sekarang  ini, orang-orang bersaing dan berlomba untuk memperoleh kepuasan duniawi baik itu kekayaan, kekuasaan, ketenaran ataupun ikatan maya lainnya. Rasa individualisasi muncul dan rasa saling memiliki serta cinta kasih terhadap sesama mulai memudar. Terjadi kriminalisasi dimana-mana, seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, perzinahan dan masih banyak lagi. Perbuatan-perbuatan tersebut jelas telah menyimpang dari ajaran susila yang tercantum dalam pustaka suci. Salah satu ajaran yang melarang adanya perbuatan sejenis kekerasan seperti itu adalah ajaran Ahimsa yang dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi. Ajaran Ahimsa terdapat diberbagai pustaka suci Hindu, seperti Sarasamuscaya, Bhagavadgita, Whraspati Tattwa, dan pustaka lainnya.
Oleh karena hal tersebut diatas, maka melalui makalah ini penulis ingin menguraikan mengenai salah satu bagian dari Panca Yama Brata yang merupakan pokok ajaran Subhakarma yaitu ajaran Ahimsa yang tercantum dalam pustaka suci Hindu khususnya kitab Sarasamuscaya dan Bhagawadgita yang merupakan pustaka suci yang paling dikenal oleh umat pada umumnya.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Bagaimana landasan ajaran Ahimsa yang tercantum dalam kitab Bhagawadgita ?
2.      Bagaimana landasan ajaran Ahimsa yang terdapat dalam kitab Sarasamuscaya ?

1.3  Tujuan

1.       Untuk mengetahui dan memahami landasan ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagawadgita.
2.       Untuk mengetahui dan memahami landasan ajaran Ahimsa dalam kitab Sarasamuscaya.

1.4  Manfaat

1.      Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dan penulis tentang landasan ajaran Ahimsa yang terdapat dalam pustaka suci Hindu.
2.      Menambah kajian dan sumber pengetahuan yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar agama Hindu






















 



BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ajaran Etika dalam Agama Hindu

Agama Hindu adalah salah satu agama yang mempunyai ajaran etika yang luas dan mempunyai kajian yang bersumber dari pustaka-pustaka suci Hindu. Etika dalam ajaran agama Hindu disebut dengan istilah Tata Susila yang merupakan salah satu bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Tri Kerangka Dasar Agama Hindu adalah salah satu pilar agama Hindu yang terdiri dari Tattwa, Susila dan Upacara. Tattwa atau filsafat adalah inti dari pengetahuan (Panca Sraddha), Susila atau etika adalah pelaksanaan sesuai dengan kehidupan sehari-hari (Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, Catur Purusa Artha, Sad Ripu dll.), serta Upacara atau ritual, yaitu Yadnya atau korban suci yang tulus dan ikhlas.
Kata etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang mempunyai banyak arti seperti watak, perasaan, sikap, perilaku, karakter, tatakrama, tatasusila, sopan santun, ca berpikir dan lain-lainnya. Sementara itu bentuk jamak dari kata “ethos” adalah “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan moralitas dengan kata asal moral yang memiliki pengertian sama dengan etika berasal dari bahasa latin “mos” (jamaknya “mores”) yang berarti kebiasaan atau adat.  Dengan latar belakang pengertian yang sama seperti itu, maka sudah sejak zaman dahulu istilah etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika lalu diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral (W.J.S. Purwandarminta, 1966). Pengertian etika lebih jauh diuraikan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tahun 1988 (Bertens, 2004). Kamus termaksud membedakan tiga makna mengenai etika itu:
     a.       Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
                  b.      Kumpulan asas atau nialai yang berkenaan dengan akhlak.
c.       Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat
Dalam pengertian umum, Etika adalah pengetahuan tentang kesusilaan yang berbentuk kaidah-kaidah yang isinya tentang larangan-larangan dan suruhan-suruhan untuk berbuat atau bertingkah laku yang baik ataupun buruk. Etika merupakan ilmu yang normative, yang berarti bahwa etika berisi nilai-nilai dan norma-norma yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tata Susila merupakan peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia.
 Tujuan etika yaitu untuk membina keselarasan antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara bangsa dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan lingkungannya. Sama halnya dengan tujuan tata susila atau etika dalam agama Hindu yaitu untuk membina hubungan yang selaras antara manusia dengan Tuhannya (Prahyangan), manusia dengan manusia lainnya (Pawongan) dan antara manusia dengan lingkungannya atau alam sekitarnya (Palemahan). Jadi tujuan tata susila mengambil konsep Tri Hita Karana, yaitu tiga hubungan yang harmonis yang merupakan penyebab adanya kebahagiaan.
Tata susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpribadi mulia, serta membimbing mereka untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud disini bukan hanya kebahagiaan yang diperoleh melalui hubungan harmonis dengan sesamanya, akan tetapi juga untuk mencapai kebahagiaan atau kesejahteraan abadi yaitu menyatunya atman dengan Brahman (Brahman Atman Aikyam).
Tata susila Agama Hindu dibangun atas dasar kebenaran yang maha adil. Agama adalah dasar dari tata susila yang kokoh dan kekal. Jika bertentangan dengan agama dan kebenaran, amak akan timbul ketidakselarasan di dalam makhluk.
Seperti yang tercantum dalam pengertian etika, yaitu kaidah yang berisi larangan dan suruhan untuk berbuat baik atau buruk. Jadi untuk membedakan baik atau buruknya suatu perbuatan, dilihat dari dua kecenderungan sifat manusia, yang terdiri dari Daiwi Sampad (Sifat kedewataan) dan Asuri Sampad (sifat keraksasaan).

2.2 Pengertian Ahimsa

            Kata Ahimsa berasal dari dua kata yaitu “A” yang berarti tidak, dan “Himsa” yang berarti membunuh. Terdapat salah satu sloka yang dalam Veda yang mengatakan “Ahimsaya paro dharmah” yang artinya “Dharma atau kebajikan tertinggi adalah Ahimsa”.
Ahimsa berarti tidak melakukan kekerasan atau tidak melukai. Walaupun ahimsa secara umum berarti kebajikan dari pendeta budha dan jainisme. Akarnya tumbuh dalam tanah veda dan upanisad yang subur, yang merupakan kitab Hindu yang utama. Ahimsa mengajarkan bahwa seseorang harus menganggap semua mahluk hidup adalah perlambangan dari Tuhan dan sehingga seseorang itu tidak boleh melukai pikiran,dengan kata-kata,atau perbuatan mahluk lainnya.
Doktrin ahimsa yang lain termasuk unsur penting berikut ini :
a). Dari sudut pandang tanpa kekerasan,ahimsa berarti cinta universal untuk semua mahluk. Karena Tuhan yang maha esa berada dalam semua mahluk.cinta antara mahluk adalah cinta pada Tuhan.
b). Sangatlah tidak mungkin untuk mempertahankan keberadaan dalam dunia fisik ini tanpa melukai atau membunuh beberapa mahluk. Dalam semua situasi dan keadaan harus dengan cermat diterapkan agar dapat mengarungi jalan ahimsa.
c). Kemarahan dan benci tidak dapat berdampingan dengan ahimsa. Kemarahan yang membabi buta mengarahkan seseorang itu untuk melakukan kekerasan. Seseorang pengikut jalan ahimsa harus rendah hati dan menjalankan tugasnya dengan semangat pengabdian. Seorang individu yang khawatir dengan nama dan keterkenalan terikat dengan dunia material acapkali melakukan kekerasan untuk melindungi keinginannya untuk melindungi keegoisan dirinya.
d). Ketamakan dan keposesifan adalah dua penyebab dari ketidak adilan dan penderitaan mahluk hidup. Seorang pengikut ahimsa tidak menguasai kekayaannya dan untuk memuaskan kebutuhan mereka sendiri.
e). Pengabdian adalah unsur yang sangat penting dalam ahimsa. Seseorang tidak harus puas dengan kemakmurannya sendiri, tetapi ia juga harus prihatin pada penderitaan bagi semua umat manusia.
f). Pengikut dari ahimsa harus berlatih kedisiplinan (tapasya),tetapi kedisiplinan yang terlalu ekstrim bertentangan dengan penderitaan semua mahluk.
g). Ahimsa menyatakan persamaan hak dan kesempatan bagi semua tidak memandang perbedaan kasta, warna kulit, keturunan, ras, jenis kelamin, dan agama.
h). Ahimsa mengajarkan rasa sayang pada tanaman dan pohon. Kasih sayang pada tanaman dan pepohonan diajarkan oleh resi Hindu, yang meminta agar orang-orang mengikuti Vana Devata, makhluk svarga yang bersemayam dalam tumbuhan. Dengan menerapkan ahimsa pada hidup tanaman, Hindu adalah agama pertama yang menyadari pentingnya untuk melindungi lingkungan.
"Engkau tidak boleh menggunakan tubuh yang diberikan Tuhan untuk membunuh makhluk Tuhan, Apakah mereka manusia, binatang atau apapun."(yajur veda samhita 12.32)

2.3 Ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagawadgita

            a. Pengertian Bhagawadgita

Bhagawadgita adalah kitab yang merupakan bagian dari Mahabharata yang termasyur, yang berupa dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Krishna yang merupakan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan tentang ajaran-ajaran filsafat Vedanta. Sedangkan Arjuna adalah murid langsung dari Sri Krishna yang menjadi pendengar. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).
Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini terjadi pada permulaan Bharatayudha, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Kresna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.

b. Sloka-sloka yang Menyangkut Tentang Ajaran Ahimsa

Di dalam kitab Bhagawadgita terdapat ajaran Ahimsa yang diajarkan kepada Arjuna ketika berada di medan perang Kurukshetra. Sri Krishna menguraikan bahwa pembunuhan dalam peperangan bukanlah suatu perbuatan yang berdosa karena membunuh musuh dalam perang adalah salah satu pembunuhan yang dibenarkan. Seperti yang dijelaskan dalam sloka di bawah ini:
Vedavinasinam nityam ya enam ajam avyanam
Katham sa purusah partha kam ghatayati hanta kam
                                                                                              Bhagavadgita (Sloka 2.21)
Artinya:           Wahai Partha, bagaimana mungkin orang yang mengetahui bahwa sang roh musnahkan, bersifat kekal, tidak dilahirkan dan tidak pernah berubah dapat membunuh seseorang atau menyebabkan seseorang membunuh ?
            Dari sloka diatas dapat dipahami bahwa seseorang yang membunuh, tidaklah dapat memusnahkan roh atau atman seseorang, yang terbunuh tersebut hanyalah badan kasar atau Sthula Sariranya saja. Akan tetapi meskipun roh tidak dapat dimusnahkan, bukan berarti bahwa seseorang diberikan kebebasan untuk menyakiti atau membunuh orang lain.
Kekerasan dibenarkan untuk dilakukan apabila kekerasan tersebut demi memperoleh keadilan yang utama. Hanya orang-orang yang memiliki pengetahuanlah yang dapat memahami bahwa kekerasan tidak hanya merupakan suatu perbuatan yang tidak baik, tetapi kekerasan memiliki kegunaan tergantung pada bagaimana seseorang menggunakannya. Contoh kecilnya seperti operasi pembedahan terhadap seseorang yang menderita sakit yang tujuannya bukan untuk menyakiti penderita tersebut, tetapi tidak lain adalah untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Kaitannya dengan kekerasan atau pembunuhan yang dilakukan oleh para ksatriya dalam pertempuran, diuraikan dalam sloka sebagai berikut:
Yadrcchaya copapanam svarga-dvaram apavrtam
Sukhinah ksatriyah partha labhanteyuddham idrsam
                                                                                                           Bhagavadgita (Sloka 2.32)
Artinya:           Wahai Partha, berbahagialah para ksatriya yang mendapatkan kesempatan untuk bertempur seperti itu tanpa mencarinya – kesempatan yang membuka pintu gerbang planet-planet surga mereka.
                                    Dalam percakapan Arjuna dan Sri Krishna di medan perang Kurukhsetra, Arjuna merasa bimbang dan bingung pada saat akan menghadapi pertempuran antara pihak Pandawa dan Kurawa dimana ia bertempur melawan sanak saudaranya. Krishna memberikan pencerahan dan pemahaman kepada Arjuna bahwa bertempur adalah sudah merupakan kewajiban seorang ksatriya. Apalagi pertempuran itu bukanlah keinginan dari pihak Arjuna, jadi meskipun ia membunuh musuh di medan perang bukanlah perbuatan yang berdosa dan apabila Arjuna terbunuh maka ia akan langsung mencapai surga, begitupula pihak musuh yang terbunuh dalam pertempuran.
                                    Dari beberapa kutipan sloka Bhagavadgita diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan atau membunuh (Ahimsa) tidak hanya merupakan perbuatan yang berdosa atau tidak dibenarkan, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan yang memiliki kegunaan seperti untuk memperoleh keadilan dan dapat dilakukan oleh para ksatriya pada saat pertempuran di medan perang.

2.4 Ajaran Ahimsa dalam Kitab Sarasamuscaya

            a. Pengertian Sarasamuscaya

Sarasamuscaya adalah salah satu susastra Hindu yang merupakan sumber ajaran etika. Meskipun secara khusus disebutkan bahwa Sarasamuscaya berisi tentang sumber, uraian dan penafsiran tentang Catur Warga yaitu: Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha dan Moksa. Sarasamuscaya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Sarasamuscaya merupakan pedoman tentang tingkah laku yang baik dalam kehidupan manusia, yaitu religi dan etika. Kalau ajaran Bhagavadgita menyangkut filsafat maka Sarasamuscaya berisikan tentang ajaran etika.
            Dalam kitab Sarasamuscaya terdapat ajaran tentang cara bertingkah laku untuk diri sendiri dan untuk hidup bersama dengan orang lain. Berbagai suruhan, larangan mengenai tingkah laku disajikan dalam pustaka Sarasamuscaya. Tentu saja semua ajaran tersebut berlandaskan pada ajaran agama Hindu. Ajaran yang disampaikan dengan tujuan mencapai kelepasan dari belenggu penderitaan, sesuai dengan tujuan agama Hindu.
            Sebagai pustaka yang memberikan penekanan pada etika, Sarasamuscaya dengan jelas menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan juga buruk. Sifat-sifat yang baik dinyatakan dengan istilah Subhakarma, dan difat yang buruk dinyatakan dengan ungkapan Asubhakarma. Karena manusia adalah makhluk yang mulia, makhluk berpikir, maka ia mampu melepaskan dirinya dari Asubhakarma dan masuk di alam Subhakarma.
            Subhakarma merupakan kecendurangan sifat yang baik (Daiwi Sampad). Subhakarma terdiri dari beberapa pokok ajaran seperti Tri Kaya Parisudha, Catur Paramitha, Panca Yama Brata, Sad Paramitha, Panca Nyama, Catur Aiswarya,, Asta Siddhi, Nawa Sangga, Dasa Yama Brata, Dasa Nyama Brata, Dasa Dharma, dan Dasa Paramitha. Diantaranya ajaran Panca Yama Brata yang merupakan lima macam pengendalian diri dalam hubungan dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani. Salah satu pembagian dari Panca Yama Brata yaitu Ahimsa yang berarti tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh makhluk lain.     
Kitab Sarasamuccaya terdiri dari sebuah pengantar pendek dan 517 sloka yang diterangkan dalam bahasa Jawa Kuna. Kitab ini adalah kitab etika untuk pemeluk agama Hindu di Indonesia.
“ The Sarasamuccaya is the Gita of the Balinese Hindus,”
- Sarasamuccaya adalah Bhagavadgitanya orang-orang Bali pemeluk agama Hindu.
Demikian ucapan Raghu Vira M.A. PH.D. dalam bukunya Sarasamuccaya. Memang benar adanya bahwa isi dari Sarasamuccaya adalah buku pedoman bertingkah laku yang baik di dalam kehidupan ini.

b.      Ketidakutamaan Orang yang Menimbulkan Penderitaan Terhadap Orang Lain

Jiiwitam yah swayam hiicchetakatham so’nyaan praghaatayet,
Yadyadaatmani hiccheta tat parasyaapi cintayet
                                                                                               Sarasamuscaya (Sloka 136)
Apan ikang wwang kahat ri huripnya, apa nimittanikam panghilangaken praana ning ika taatan harimbawaa kta ya, ikang sanukhana ryawaknya, ya ta angenangenenya, ring len.
Artinya:           Apabila orang sayang kepada nyawanya sendiri, mengapa ingin mencabut nyawa lain makhluk ? Hal ini tidak menghiraukan orang lain namanya. Apa saja yang rasanya menyenangkan untuk dirinya sendiri, itulah yang harus diperbuat terhadap orang lain.
          
            Terdapat salah satu istilah sloka dalam Hindu “Vasudaiva Kutumbakam” yang artinya kita semua bersaudara atau semua jenis kehidupan sebagai satu keluarga. Ini berarti bahwa BRAHMAN, Tuhan yang meresap pada semua mahluk, yang menyatu pada semua mahluk hidup, apakah manusia,binatang,atau serangga. Semua perbuatan, pemikiran kata-kata yang menyakiti mahluk hidup adalah sebuah dosa bagi semua mahluk ciptaan, termasuk pendosa itu sendiri. Kitab Hindu (seperti Rg Veda 10.37.11, Atharva Veda 19.48.5 dan 10.191.4, Devikalottara agama dan Sandilya Upanisad) menyatakan bahwa tidak boleh melukai mahluk hidup.

            Dauskulaa wyaadhibahulaa duraacaaraah prahaarinah,
            bhawantyalpaayusah paapaa roduka kasmalodayaat.
                                                                                                          Sarasamuscaya (Sloka 148)
Kuneng tikang wwang mangke kramanya, mangjanma ring wwang kasmala, wyaadhi ta ya, duraacaaraa, hingsaaprawrrti, alpaayusa, dumeh ya mangkana, kruurakarma nguuni ring puurwajanmanya kalinganika.

Artinya:           Adapun orang yang keadaannya pada kehidupan ini menjadi manusia penuh dosa, penyakitan, jahat, suka membunuh, pendek umur, maka semua itu menurut ajaran agama adalah pahala yang didapatnya dari perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam penjelmaannya yang lampau.

           Yasyaante swaapi caranaukurute muurddhanya Sankitah,
           Sa kaayah parapiidanair dhaaryata iti ko nayah.
                                                                                                         Sarasamuscaya (Sloka 137)
           Lawan waneh, ikang sarira ngaranya, anitya pinaka swabhaawanya, tan lanaa, apan ri paatinya, tan pamuulya ya, mastakanya tuwi linangkahaning srgaala, an mangkana tattwanya, aparan ta rakwa ya, inguni makasaadhanang parapiida, ndya ta yogyanika.

Artinya:           Bahwa sesungguhnya badan kasar ini tidak kekal keadaannya; kalau ia mati tidak berharga lagi karena sesungguhnya kepalanyapun dapat dilangkahi anjing demikianlah sebenarnya. Oleh sebab itu mengapa sampai mencelakakan orang lain untuk memelihara badan kasar ini. Apakah sepatutnyakah demikian ?

                       Sthula sarira atau badan kasar yang merupakan bagian Tri Sarira, memiliki sifat tidak kekal. Badan kasar ini selalu berganti dan mengambil wujud lain di setiap kelahiran selama siklus penjelmaan yang berulang-ulang (Punarbhawa/Samsara). Oleh karena itu, jika untuk memelihara dan memberi kepuasan pada badan kasar tersebut dengan melakukan cara atau jalan yang menimbulkan kesengsaraan atau menyiksa makhluk lain, tidaklah benar karena tujuan kita lahir kembali adalah untuk memperbaiki karma atau perbuatan kita dan agar pada kehidupan selanjutnya atma tidak lagi mengambil wujud badan kasar tetapi dapat menyatu dengan Brahman.

c.       Keutamaan dan Pahala Orang yang Tidak Melakukan Ahimsa Karma


           Wadhabandhapariklesaan praanino na karoti yah,
           Sa sarwasya hitam prepsuh sukhamatyantamasnute
                                                                                                          Sarasamuscaya (Sloka 141)
           Hana mara wwang mangke kramanya; tapwan pagawe pariklesa ring praani, tan pangapusi tan pamati, kewala sanukhana ring prani tapwa ginawenya, ya ika sinanggih paramasukha ngaranya.

Artinya:           Jika ada orang yang tidak pernah melakukan perbuatan yang mencelakakan makhluk lain, tidak menipu, tidak membunuh, dan hanya hal-hal yang menyenangkan yang diperbuatnya selalu terhadap semua makhluk, maka ialah yang mendapat kebahagiaan tertinggi.

Itulah pahala yang didapatkan apabila seseorang tidak melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan menyakiti orang lain. Orang tersebut dapat mengantarkan atmanya untuk mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu terlepasnya atman dari ikatan duniawi (Panca Maya Kosa) dan bersatunya atman dengan Brahman (Moksa).

           Ekam suute mrgaarinii bahuun suute wrkisutaan,
           Attaarah pralayam yaanti naadyamaanaah kathancana
                                                                                                         Sarasamuscaya (Sloka 140)
           Nihan paajara sakareng naang kidang, sakatunggal denika maanak, kunang ikang srgaala, maanak ika sakapitu nem, kalinganika, ring nem pitu, tan ahurip ika kabeh, apan ikang amangan, upalaksana ring makaarya ring hala, ya ika kagonganing wighna, kunang ikang pinangan, sdalwirning kinaarya ring hala, taha ika.

Artinya:           Kini diumpamakan sebagai kidang yang menjadi makanan harimau, Kidang itu beranak seekor, harimau beranak enam atau tujuh sekali, tetapi walaupun enam atau tujuh tidak hidup, itu semuanya, sebab ia masuk golongan yang memakan makhluk hidup lain. Harimau yang melakukan perbuatan membencanai makhluk lain, menerima pahalanya yang celaka, sedang yang dimakan yaitu kidang yang dibencanai itu tidak menerima nasib yang celaka.
          
            Dari perumpaan hewan kidang dan harimau diatas, dapat dimaknakan bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan baik itu baik maupun buruk, pasti akan mendatangkan hasil sesuai dengan perbuatan tersebut yang biasa disebut dengan istilah Karmaphala. Jika dalam hidupnya seseorang selalu menimbulkan kesengsaraan dan menyakiti makhluk lain, maka phala atau hasil perbuatannya itu akan mengikutinya. Sebaliknya, orang yang selalu dikenai kesengsaraan oleh orang lain pasti suatu saat ia dapat terhindar dari nasib celaka.

                        Yaccintayati yadyaati ratin badhnaati yatra ca,
                        Tahtaa caapnotyayatnena praanino na hinasti yah
                                                                                                          Sarasamuscaya (Sloka 142)
                        Kuneng phalanya nihan, ikang wwang tan pamaatimaatin haneng raat, senangenangenya, sapinaranya, sakahyunya, yatika sulabha katemu denya, tanulihnya kasakitan.

Artinya:           Pahalanya orang yang tidak membunuh-bunuh (menyakiti) di dunia ini ialah bahwa segala yang diingini, semua yang ditujunya, segala yang dipikirkannya, dengan mudah tanpa penderitaan pasti tercapai olehnya.
                       
Seseorang yang tidak pernah melakukan perbuatan yang menyakiti dan menimbulkan kesengsaraan orang lain, maka orang tersebut pada kehidupan sekarang ataupun yang akan datang, kecil kemungkinan untuk ia disakiti oleh orang lain kecuali jika ia masih mempunyai bekas-bekas karmawasana di kehidupan terdahulu. Selain itu, pahala orang yang tidak suka menyakiti makhluk lain yaitu tujuan atau keinginan yang ingin dicapainya akan lebih mudah diperolehnya seperti yang disebutkan dalam sloka diatas.

2.5 Pembunuhan yang Dibenarkan

Memang benar bahwasanya membunuh adalah salah satu bentuk dari tindakan kekerasan. Tetapi ada pembunuhan-pembuhuhan yang diijinkan dan bahkan diwajibkan oleh ajaran Veda. Membunuh untuk mempertahankan hidup bukanlah tindakan himsa karma. Bahkan Bhagavad Gita yang disabdakan oleh Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna adalah merupakan perintah kepada Arjuna untuk bangkit dan melakukan kewajibannya membunuh lawan-lawannya di medan perang. Pembunuhan harus dilakukan dalam rangka melakukan tugas dan kewajiban. Seorang Brahmana yang berkualifikasi dapat pembunuhan binatang dalam rangka korban suci. Seorang Ksatria seperti Arjuna yang tugas dan kewajibannya bela negara dan menghancurkan musuh demi dharma maka harus siap melakukan pembunuhan walaupun yang harus dia bunuh adalah sanak keluarga, guru dan saudara-saudaranya sendiri. Begitu juga dengan seorang Hakim sebagaimana disampaikan dalam kitab hukum Hindu, Manu Samhita tidak boleh disalahkan hanya karena dia menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi mati narapidana yang telah terbukti melakukan dosa berat membunuh orang lain. Seseorang yang membela diri dari serangan perampok demi mempertahankan jiwa raga dan harta bendanya pun tidak boleh disalahkan karena membunuh si perampok. Begitu juga semua mahluk hidup yang melakukan pembunuhan demi makan dan mempertahankan hidupnya tidak bisa serta merta kita salahkan.
Dalam Bhagavata Purana 6.4.9 mengatakan: “annaḿ carāṇām acarā hy apadaḥ pāda-cāriṇām ahastā hasta-yuktānāḿ dvi-padāḿ ca catuṣ-padaḥ” (secara alamiah, buah-buahan dan bunga diperuntukkan sebagai makanan untuk serangga dan burung; rumput dan binatang yang tidak berkaki adalah sebagai makanan binatang berkaki empat seperti sapi dan kerbau; binatang yang tidak menggunakan kaki depannya sebagai tangan adalah makanan bagi binatang seperti macan, yang memiliki cakar; dan binatang berkaki empat seperti rusa dan kambing, maupun biji-bijian, adalah makanan bagi manusia) Ini berarti secara alami manusia memang diijinkan melakukan pembunuhan binatang untuk kebutuhan hidupnya.
Meskipun demikian, hendaknya kita harus menyikapi “hak” membunuh ini dengan sangat hati-hati. Jangan beranggapan bahwasanya kita bisa melakukan pembunuhan sembarangan dengan alasan bahwa sang roh tidak pernah terbunuh meski badan materialnya terbunuh. Karena tidakan membunuh seperti ini bertentangan dengan prinsip bahwasanya jika suatu mahluk hidup dibunuh tanpa aturan kitab suci, itu berarti kita telah menghalangi proses evolusi sang roh mahluk hidup bersangkutan. Karena itulah dikatakan pula bahwa ahimsa dapat diartikan tidak menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup mana pun yang maju dari salah satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan yang lain.

2.6 Ajaran Ahimsa yang Terdapat pada Pustaka Hindu Lain dan Pandangan Para Tokoh Agama Dunia Mengenai Ahimsa

                Ajaran Ahimsa tidak hanya terdapat dalam kitab Bhagawadgita dan Sarasamuscaya saja, akan tetapi terdapat pula pada beberapa pustaka suci Hindu lainnya, diantaranya yaitu sebagai berikut:
"Engkau tidak boleh menggunakan tubuh yang diberikan Tuhan untuk membunuh makhluk Tuhan, Apakah mereka manusia, binatang atau apapun."(yajur veda samhita 12.32)
Dalam Yajur Weda, XXI.61, Tuhan berkata, “Tuhan menciptakan manusia untuk berbicara lemah-lembut dan santun”.
Tuhan berjanji, “Orang-orang yang ramah dan lemah-lembut dalam ucapannya akan memperoleh karunia-Nya” (Yajur Weda, XIX.29).
Dalam Reg Weda, X.19.4, Dia berseru kepada kita semua, “Wahai umat manusia, satukanlah pikiranmu untuk mencapai satu tujuan dan satukanlah hatimu, satukan pikiranmu dengan sesama dan semuanya tinggal dalam pergaulan yang harmoni
Sloka suci di atas menegaskan bahwa hakikat ber-Ahimsa adalah tidak hanya menyangkut Vegetarianisme atau tidak membunuh tetapi lebih pada mengelola Tri Kaya Parisuda atau Sukma agar manusia senantiasa lebih manusiawi agar mencapai “moksartham jagaddhita ya ca iti dharma” (dengan dharma menggapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat). Etika-Ahimsā seyogyanya dimulai dari pikiran (manacika), kemudian ke wicara (wacika), dan akhirnya laku (kayika) atau Tri Kaya Parisuda.
Menurut Svami Vivekananda manusia terdiri atas manas (pikiran), buddhi (laku), dan atman (ruh). Di samping itu, di dalam diri manusia juga ada sifat Rajas dan Tamas yang juga mesti diseimbangkan agar tercapai Satvass atau Satwika. Karena ahimsā  adalah pertimbangan etis non-kekerasan dan damai, maka pertama-tama ia dimulai dari ketiga unsur pembentuk kedirian manusia ini. Bagaimanapun juga, makna ahimsā akan kabur jika misalnya, perut sudah tidak terisi daging tetapi perkataan, tingkah laku dan pikiran kita masih terpengaruh oleh sifat-sifat ke-daging-an (hewani). Bahwa ahimsā seharusnya terimplementasi ke dalam Tri Kaya Parisuda dan atau Sukma.
            T.W. Rhys Davids berpendapat bahwa ahimsā secara mistis terdapat di dalam kitab sruti Chāndogya Upanisad (3,7). Sedangkan menurut John McKenzie, ahimsā lebih unik di tangan Gautama dan Mahāvīra dan menjadi National Character, misalnya di tangan Mahatma Gandhi. Memang ahimsā dalam pandangan Gandhi, seperti kata Francis Alapatt, “lebih dari sekadar ungkapan…, yang lebih menekankan aspek ‘tidak’ atau penegasian, dan tidak jarang pula ahimsā dimaknai secara negatif”. Memang secara praktis, etika-ahimsā dilaksanakan dengan cara tidak memakan daging “vegetarianisme”. Karena menurut Maharshi Manu, “there is no greater sinner than that man who, though not worshipping the gods or manes, seeks to increase the bulk of his own flesh by the flesh of other beings.” Akan tetapi, menurut beliau lagi, ada pengecualian selama, “He who eats meat, when he honours the gods and manes, commits no sin, whether he has bought it, or himself has killed the animal, or has received it as a present from others


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

                Ahimsa adalah salah satu ajaran etika dalam Agama Hindu yang merupakan bagian dari Panca Yama Brata. Ahimsa berarti tidak membunuh atau tidak menyakiti. Di dalam kitab Bhagawadgita, Sarasamuscaya dan pustaka suci Hindu lainnya terdapat larangan atau ketidakutamaan orang yang melakukan Himsa Karma terhadap makhluk lain. Akan tetapi, terdapat pula beberapa macam pembunuhan yang dibenarkan, seperti membunuh dalam perang seperti Arjuna, membunuh untuk memperoleh keadilan seperti hakim, membunuh karena merupakan tugas atau kewajibannya seperti brahmana yang melakukan yadnya, membunuh karena ingin membela diri, serta membunuh untuk makan dan mempertahankan hidup. Konsep ajaran Ahimsa tidak hanya mengenai perbuatan yang tidak membunuh atau menerapkan vegetarianisme saja, akan tetapi Ahimsa harus terimplementasi dari konsep ajaran Tri Kaya Parisudha.

3.2 Saran

                Sebagai umat Hindu yang meyakini adanya ajaran Ahimsa, seharusnya kita memahami dan mencari kebenarannya ajaran dalam pustaka Suci yang kita miliki. Kemudian mengimplementasikannya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing tanpa adanya paksaan.















DAFTAR PUSTAKA

Mantra, Prof. Dr. Ida Bagus. 2002. Tata Susila Hindu Dharma. Jakarta: Felita Nursatama Lestari.
Sudharta, Tjok. Rai. 2009. Sarasamuccaya Smerti Nusantara. Surabaya: Paramita.
Prabhupada, Swami. 2006. Bhagavadgita Menurut Aslinya. Indonesia: Hanuman Sakti.
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia.
Suhardana, Drs. K.M. 2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu. Surabaya: Paramita.